Blogger Template by Blogcrowds.

Tulisan Tanpa Topik

Setiap kali dihadang tuntutan untuk menulis, saya selalu berpikir topik apa yang saya perlu angkat. Topik apa yg bisa saya bagikan dikolong bernama Facebook ini, sesuatu yg bersifat pribadi namun membawa sebuah insights. Dan selalu saja saya bingung…. Upsst.., tapi bukan Galau…!!! Hahahaha…!!
Setiap kali berada pada titik itu, saya merasa saya ini bukan penulis sejati. Benar saya selalu menulis setiap pikiran, setiap perasaan yg lewat, yang tidak semua selalu saya Posting di Media ini. Apalagi bila itu melibatkan orang-orang yang ada di sekitar saya. Meskipun saya belum berani merekam keseharian saya dalam sebuah jurnal. Namun, kenapa sulit sekali menulis sesuatu untuk konsumsi umum. Apalagi yang masuk dalam tema "Agama". “Yah jelas aja bang, karena Abang bukan Ustadz atau_pun Ulama” (Sontak Hati saya berteriak dengan Nada Ejekan kepada saya)
Saya rasa setiap orang yang sering menulis - atau seseorang yang merasa sesekali sebagai penulis seperti saya ini (ha….!) - tidak bisa tidak mendapat inspirasi dari kejadian sehari-hari. Masalahnya bagaimana kejadian ini dituangkan ke dalam tulisan, itu yg kerap menjadi masalah.
Apalagi saya selalu berada dalam Kondisi atau suasana Canda’an Teman-teman Kantor yang sering melenceng ke Tema yang membuat saya berada posisi “Meminjam Istilah Teman (Under Age)”. Tema, atau Kondisi apapun yang sedang di hadapi atau dibahas selalu saja melenceng ke arah “itu”. Dengan saya bekerja di sebuah Lembaga Pendidikan yang setiap harinya berinteraksi dengan bermacam-macam karakter Mahasiswa, Harusnya banyak inspirasi yg menghampiri. Namun ternyata tidak mudah membuatnya menjadi sebuah tulisan.
Mungkin saya kurang pandai seperti salah seorang Kakak laki-laki saya yang seorang penulis Buku Lokal di Tanah Mandar sana. Buku-buku yang selalu mendapat penghargaan dari berbagai kalangan di daerah Mandarku yang Malaqbi. Tapi saya pikir inilah tantangan saya.
Menulis memang butuh konsentrasi. Bak seniman: perlu "mood". Tapi apa guna mood tanpa topik….? Ibarat Sayur tanpa Garam lah…!!!
Kembali pada mood menulis dalam keisengan saya menjelajahi dunia ini, saya mendapatkan ketenangan dan inspirasi ketika saya berada di keheningan Alam Sebelum Fajar_NYA menyingsing. Sama ketika saya menyusun kata-kata ini. Mood mulai muncul…. Kesempatan ada….!! But, The next question is, topiknya apa…? Hmmm....mungkin kali ini tulisan ini tidak bertopik. Telak seperti judulnya….!!! Hahahahaha….!!!! Kalian juga bisa ikut tertawa kok…!!!
Maaf ya, saya kali ini hanya mengajak anda masuk dalam pikiran saya. Masuk dalam pergumulan saya. Bahwa saya sungguh bukan penulis sejati seperti yang lain. Penulis yg bisa setiap saat mampu menuangkan inspirasi dalam kata-kata.
Saya bukan Adrea Hirata (Penulis Tetralogi Laskar Pelangi), Bukan Ahmad Fuadi (Penulis Novel Negeri 5 Menara), Bukan Habiburrahman El Shirazy (Penulis Novel Ayat-ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih), bukan Pula penulis yang lain-lainnya. Meskipun Saya berasal dari disiplin ilmu Komputer, tapi entah kenapa saya lebih sering menciptakan tulisan-tulisan ringan dibanding menghasilkan karya-karya ringan yang ada kaitannya dengan Komputer itu sendiri. Hah…., lagi-lagi masalah pilihan sebenarnya. Maka tak salahlah kalau banyak orang mengatakan bahwa, “Hidup ini adalah Pilihan”. sebuah prinsip yang belakangan saya juga ikut meng”Iya”kannya.
Mungkin tidak yah, saya jadi “Penggiat Sastra” atau_pun “IT Profesional”…???
Atau pantasnya jadi “Penggiat Sastra” dan “IT Profesional” yang “banyak Tanya”..???
Yah maklum kebiasaan bertanya itulah yang akan selalu saya pertahankan dalam hidup ini. dan Akan saya pertahankan sampai ke dalam tulisan-tulisan saya sekalipun.
Jika ada teman-teman yang membaca tulisan ini bisa mengajar saya, saya ingin sekali belajar menulis seperti Idola-Idola saya. Inspirasi dari kejadian-kejadian ringan setiap harinya bisa tertuang ke dalam dan menyatu di dalam serat-serat kehidupan. Begitu indah. Begitu memukau. Dan membuat orang-orang yang membacanya berani untuk bermimpi. Insya Allah yah….!!!
Tapi, mulai dari tulisan tanpa topik. Lucunya saat saya menulis ini, saya jadi berpikir, tulisan tanpa topik seperti ini sebenarnya sudah membawa topik tersendiri….!!! Iya kan…??? Hahahahaha….!!!

Teologi Membaca

"Ibuku, perpustakaan pertamaku." Pesan simpatik iklan layanan masyarakat ini terpampang cukup besar di depan Gedung Perpustakaan Nasional, Salemba, namun terimpit papan dan spanduk reklame lain sehingga masyarakat, terutama kaum ibu, mungkin tak sempat membacanya. Edu bertanya kemudian, "Jika ibu merupakan perpustakaan dan orang pertama yang mengenalkan kita bagaimana caranya membaca, siapakah kemudian orang kedua, ketiga, dan seterusnya?" Orang kedua seharusnya guru dan lingkungan sekolah, orang ketiga adalah keluarga, sedangkan keempat dan seterusnya adalah lingkungan secara umum. Kondisi ideal seperti ini tampaknya masih merupakan angan-angan, jauh lubuk dari pakam.
Harus diakui buku masih merupakan sumber dominan pengetahuan untuk ditimbun dan dipelajari selain media lainnya. Bukulah tempat seseorang dapat mengubah pandangannya tentang dunia dan dirinya sendiri. Henry David Thoreau bilang ''Books are the treasured wealth of the world and the fit inheritance of generations and nations.'' Begitu pentingnya peran sebuah buku, maka di dalam Islam, misalnya, kewajiban membaca itu menjadi perhatian dan pertanda utama kerasulan Muhammad. Bagi Edu, penghargaan terhadap keutamaan membaca ini seharusnya dibaca umat Islam sebagai sebuah kewajiban. Tetapi jika membaca sudah menjadi kewajiban, mengapa kita tak merasa berdosa ketika mengetahui minimnya minat baca di kalangan guru dan siswa? Mungkinkah karena kewajiban membaca tidak termasuk dalam kategori teologis dan hukum Islam sehingga kita enggan menghukum orang yang tidak dan malas membaca? Edu galau dan berkeringat dingin membayangkan jawaban-jawaban pertanyaan ini.
Kegalauan dan kecemasan Edu sangat beralasan bila melihat data yang menunjukkan rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006 menunjukkan bahwa masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%). Data lain misalnya datang dari International Association for Evaluation of Educational (IAE). Tahun 1992, IAE melakukan riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV pada 30 negara di dunia. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-29. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD.
Jika pepatah yang mengatakan 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari' kita jadikan rujukan tentang rendahnya minat baca kita, rendahnya minat baca murid mengindikasikan rendahnya minat baca para guru. Dari riset selama proses training guru di Aceh, Bandung, Medan, dan Surabaya yang dilakukan INSEP selama tahun 2005-2007 di hampir 80 sekolah terlihat bahwa kemampuan membaca guru sangat minim, yaitu 79% guru hanya membaca di bawah 1 jam per hari, 15% guru membaca 1-2 jam per hari, dan sisanya hanya sekitar 6% guru membaca antara 2-3 jam per hari. Ada banyak faktor yang menyebabkan kemampuan membaca siswa dan guru di Indonesia tergolong rendah, salah satunya adalah ketiadaan perpustakaan sekolah dengan buku-buku yang bermutu dan memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa perpustakaan sekolah. Sejak dulu, dalam rencana tata ruang sekolah yang akan dibangun pemerintah sekalipun, perpustakaan selalu tak mendapat tempat. Ini benar-benar nyata, ribuan sekolah tak berperpustakaan adalah bukan isapan jempol. Otoritas pendidikan kita hanya memikirkan ruang kepala sekolah, ruang guru, dan ruang belajar seadanya yang jauh dari kesan ingin menumbuhkan budaya baca di sekolah. Padahal kita tahu perpustakaan merupakan sumber belajar yang sangat penting bagi siswa dan guru.
Sebuah ironi sedang berlangsung di dunia pendidikan kita. Dalam salah satu kunjungan ke sebuah madrasah ibtidaiah di Kota Malang, Edu melihat kemegahan sebuah tulisan kaligrafi di depan pintu gerbang sekolah, bunyinya adalah 'al-'ilmu fi shuduur, la fi al-shutuur' (ilmu itu di dalam dada, bukan di dalam kertas/buku). Anehnya, madrasah tersebut tak punya perpustakaan, sehingga dalam hati Edu bertanya, bagaimana mungkin ilmu bisa masuk ke dalam dada jika yang di dalam kertas/buku saja kita tak punya.
Dikutip dari Sumber Lain.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda